Kairo - Mesir, Bawwabah III, Egypt
Buletin Cakrawala adalah media unggulan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) cabang Kairo yang berfungsi sebagai sarana berkomunikasi serta wadah untuk meningkatkan skill menulis Mahasiswa Baru (Maba). Buletin yang lahir pada tahun 2003 ini dikelola oleh Maba IKPM sendiri di bawah bimbingan para senior. Semoga pada tahun ini (2008), Cakrawala bisa memenuhi target, menjadi lebih baik, dan mampu bersaing dengan media mahasiswa Indonesia lain di Kairo. Amien...!

Merenungi Hakikat Ujian

>> Rabu, 09 April 2008

Oleh M. Nur Tariq

Suatu hari di Hayy Asyir... di segala sudut terlihat berpasang-pasang mata yang tak berpaling dari lembaran muqorror. Baik di bus, halte, dan tempat keramaian lainnya. Sebagian yang lain menyibukkan diri dengan meringkas pelajaran, mencari batasan-batasan pelajaran, bahkan tak juga lelah menghadiri banyak bimbingan belajar agar mampu menguasai pelajaran.

Barangkali seperti itulah suasana menjelang ujian dan aktifitas masisir pada umumnya dan mungkin juga dirasakan oleh semua pelajar di institusi manapun. Namun bagi mereka yang tengah melanjutkan studinya di rantau orang, boleh jadi sikap semacam ini disebabkan tekad yang kuat, rasa untuk tidak mengecewakan orang tua, beban biaya hidup, serta cita-cita yang tinggi amat mempengaruhi semangat mereka dalam perjuangan ini.

Tanpa dirasa kita sudah hampir tiba di penghujung termin dua dan akan mengikuti ujian yang kedua kalinya dalam tahun ini. Betapa singkatnya waktu. Sudah pasti banyak masisir yang sudah sedia payung sebelum hujan, bersiap sejak jauh-jauh hari.

Berat, jenuh dan repot. Namun, hal ini mau tidak mau harus kita lalui, karena bagaimanapun ujian adalah salah satu syarat yang harus kita tempuh untuk menuju ke jenjang selanjutnya. Layaknya sebuah game komputer, kita tidak akan bisa berada di level kedua, sebelum menyelesaikan level pertama.

Menurut hemat penulis, secara normatif ujian mempunyai tiga sifat yang saling berhubungan satu sama lain. Pertama, sebagaimana paparan di atas, bahwa ujian adalah rintangan atau syarat yang harus ditempuh demi mencapai tingkat selanjutnya. Ujian adalah salah satu jalan pengujian kemampuan. Ini menunjukkan bahwa ujian mempunyai sifat selektif dan kompetitif dengan adanya persaingan dari para peserta untuk menempati kedudukan yang dituju. Meminjam istilah Darwin, terjadi “seleksi alam”. Siapa yang dianggap layak, maka berhak untuk menuju tingkat selanjutnya, dan yang tidak memenuhi kriteria, maka harus kembali menjalani “penggodokan.”

Dengan adanya sistem uji kualitas para peserta, menunjukkan bahwa ujian pun juga mempunyai sifat kedua, yaitu evaluatif, yaitu guna mengetahui sebatas mana penguasaan materi peserta. Kaitannya dengan yang pertama, bahwa nilai hasil evaluasi tersebut menjadi bukti bahwa peserta layak berada di jenjang berikutnya.
Ketiga, introspektif. Yaitu untuk mengetahui kelemahan yang dimiliki oleh peserta didik yang dengannya mereka mengetahui kelemahan masing-masing dan meningkatkan konsentrasi pada materi. Begitu pula dengan tenaga pengajar andai kata terjadi kekurangan dalam memberikan materi.

Walaupun itu semua ada dalam koridor takdir Tuhan, perlu kita sadari pula bahwa semua itu tak lain juga karena karunia dan kehendak Allah SWT. Apapun yang kita capai dan kita miliki semata-mata adalah kasih sayang-Nya dan bukan murni akibat usaha kita. Namun, ini tidak bisa dijadikan alasan pembenaran bagi kita untuk bermalas-malasan serta bersikap fatalistik. Tidak dibenarkan seseorang menjadikan “takdir Tuhan” sebagai sebuah alasan untuk meninggalkan usaha karena sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, “Innallahu la yughayyiru ma bi qaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim”. Lain kata, langit takkan menurunkan hujan emas. Bila kita menginginkan kelulusan dan kesuksesan dalam menjawab soal ujian, maka belajar disertai do’a adalah jalan yang efektif untuk mewujudkan impian itu.

Tak lepas dari itu semua, kita patut meninjau kembali niat belajar dan ujian kita. Barangkali kita seringkali menafikan tujuan diadakannya ujian yang erat hubungannya dengan sifat-sifat ujian yang telah disebutkan di atas. Tanpa sadar ujian kita bertujuan agar dapat naik tingkat semata, tanpa memikirkan hakikat menuntut ilmu yang sebenarnya. Pada akhirnya, setelah mengikuti ujian kita kerap melupakan pelajaran-pelajaran yang sudah berlalu dan hanya bangga dengan predikat serta nilai yang kita dapatkan.

Sebuah fenomena yang lumrah, akan tetapi bisa menjadi salah kaprah. Lumrah karena sangatlah manusiawi. Akan tetapi salah kaprah andai kita mementingkan predikat dan lupa dengan hakikat kewajiban mencari ilmu.
Kita mungkin masih sering mendengar bahwa niat yang harus ditanamkan seorang mukmin dalam mencari ilmu; mencari Ridha Ilahi, menghilangkan kebodohan dan meninggikan agama Islam. Namun kenyataannya bertolak belakang. Kita masih menyibukkan diri belajar demi mendapatkan predikat tertentu dan bilamana kita sudah mendapatkannya, selesai sudah sampai disitu.

Kalau boleh kita menukil, selayaknya kita berkaca pada munajat Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita dari Bashrah dalam konteks berbeda, “Ya Allah, kalau aku mencari ilmu hanya karena ingin nilai dan mendapatkan kelulusan, jauhkan nilai dan derajat itu dariku. Dan jika aku mencarinya karena takut tidak diluluskan dalam ujian, jangan luluskan aku dalam ujian. Namun bila aku mencarinya semata-mata hanya mencari ridha-Mu, maka jangan cabut cahaya-Mu ini dariku dan ikatkanlah kuat-kuat dalam dadaku”. Bisakah kita berprinsip demikian?

Pun demikian, sebenarnya niat-niat yang bersifat sementara itu dapat ditujukan ke arah yang lebih baik. Seperti, kita bertujuan agar di luluskan dalam ujian agar kita lebih cepat memperoleh ilmu dengan waktu yang efisien dan menyegerakan diri untuk berjuang di negeri kita. Atau, kita berniat mencapai predikat yang tinggi supaya dapat meninggikan agama Islam dan mampu mengangkat derajat saudara kita yang lain hingga mampu berada di jalan yang lurus di zaman yang penuh dengan godaan ini.

Terakhir, patut kita catat pula, bahwa selain di universitas Al-Azhar tercinta ini, kita juga sedang menjalani ujian yang lebih berat, yaitu ujian kehidupan. Dan kecemasan yang kita hadapi lebih hebat lagi karena kita dituntut untuk menjalani takdir kita masing-masing yang kita tidak mengetahuinya, serta harus menyantap menu yang dihidangkan untuk kita, bagaimanapun pahitnya. Tak lain cara untuk menyingkirkan kegelisahan itu adalah memposisikan diri baina al-Khauf wa al-Roja’. Harap-harap cemas. Tidak terlalu pesimis, namun tidak ambisius pula. Selain beramal, kita tak lupa untuk bertawakkal. Wa Allahu Al-Muwafiq .

Majalah La Tansa

Komentar Terakhir

Tulisan Terakhir

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP