Kairo - Mesir, Bawwabah III, Egypt
Buletin Cakrawala adalah media unggulan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) cabang Kairo yang berfungsi sebagai sarana berkomunikasi serta wadah untuk meningkatkan skill menulis Mahasiswa Baru (Maba). Buletin yang lahir pada tahun 2003 ini dikelola oleh Maba IKPM sendiri di bawah bimbingan para senior. Semoga pada tahun ini (2008), Cakrawala bisa memenuhi target, menjadi lebih baik, dan mampu bersaing dengan media mahasiswa Indonesia lain di Kairo. Amien...!

Coklat Mahmud

>> Rabu, 19 Maret 2008


Tak cukup jauh memang, kali ini tujuan pertamaku adalah ke kawasan Saeda Zainab. Aku juga tidak mengetahui secara rinci alasan penamaan daerah itu. Yang jelas, salah seorang keluargaku tinggal disana.

Aku adalah mahasiswa baru. Ya, baru datang kemarin. Setelah menanti lamanya pemberian izin untuk bisa belajar disini. Hmmm, pernah terpikir olehku. Buat belajar aja susah banget, mesti punya uang tabungan 25 juta lah, mesti gini lah, mesti gitu lah. Tapi, aku yakin dan bulatkan tekat untuk terus maju pantang mundur. Bukankah begitu yang harus kulakukan.

Setiba Saeda Zainab aku sedikit berbincang pendek. Sekedar silaturrahim dan menumpahkan rasa penasaranku akan letak rumahnya. Aku mulai beranjak menuju darrasah untuk kuliah.Yap, itulah tujuan utamaku. Selain jarak yang dekat dari Saeda Zainab, aku juga ingin minta sedikit gambaran tentang perkuliahan disini.

Sesampainya di kawasan Universitas Azhar, tak mengambil pikir panjang. Aku langsung menuju gedung Fakultas Ushuluddin dan hanyut dalam suasana perkuliahan yang santai.
………..

Fiuuuh ! Akhirnya, jam kedua selesai. Wah, berat juga yah yang namanya Nudzum Islamiyah itu. Sudah bukunya tebal, materinya banyak lagi. Semoga imtihan nanti aku bisa dimudahkan. Amien.

Aku langsung menuju Gami' Azhar. Ya, biasa. Shalat Dhuhur disana, dan nantinya makan siang dengan kibdah. Lumayan, cukup 200 piaster sudah bisa kenyang.

Setelah melahap habis kibdah. Aku dan teman-temanku melanjutkan perjalanan sambil menunggu bus. Sesekali perjalanan kami dibumbut canda dan tawa gelak para pemuda. Kami sampai melupakan bahwa kami sudah berkepala dua. Setidaknya, kamui tidak kehilangan sense of humor masa remaja kami. Hehehe…

Tak terasa, bus yang kami nanti belum juga lewat. Kami memutuskan untuk menuju ke terminal Darrasah. Tak terlalu jauh memang, hanya sekitar limaratus meter dari tempat kami berdiri sekarang. Setibanya disana, aku menyaksikan betapa ramainya terminal ini. Mengingatkan aku akan terminal kota ku dulu. Yah, disana aku sering menghabiskan waktu seusai jam pelajaran sekolah berakhir.

Lamunanku tersentak.

Tak terasa pandanganku menangkap sosok kecil menjajakan coklat kepada orang-orang yang seakan sibuk sendiri dengan aktifitas mereka.Hanya 25 piaster, coklat yang di tawarkan Mahmud-demikian ia memperkenalkan diri- di sela keramaian terminal Darrasah. Tubuh mungil-entah berapa umurnya, penampilan dekil dan celana butut dengan resleting yang tak bisa ditutup, rusak, mengiringi langkahnya dari bus ke bus. "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu", terlintas di anganku lirik salah satu lagu Iwan Fals. Aku jadi merasa sangat beruntung bisa merasakan masa kecil lebih baik darinya. Dan merasa rugi kalau seandainya kesempatanku belajar di Al-Azhar ini aku sia-siakan. Buat apa aku jauh-jauh ke Mesir lantas akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa.

Ketika ditanya kenapa pakai celana yang tidak layak pakai tersebut, Mahmud hanya tersenyum. Senyum yang memiliki ribuan makna. Aku pun memindahkan pandangan dari resleting rusak tersebut. Disebelah kami, para gadis murid sekolah menengah tersenyum melihat kepolosan anak kecil ini.

Sayang uang yang kumiliki tinggal 125 piaster, hanya pas untuk ongkos pulang ke rumah. Ingin rasanya membantu meringankan beban hidup Mahmud dengan membeli barang satu atau dua bungkus dagangannya.

Teman-temanku tiba-tiba berlari. Rupanya bus yang ditunggu telah tiba. Aku tak mau kalah, bergegas naik, berjuang mendapatkan tempat duduk. Naik bus dari Darrasah ke Asyir memakan waktu hampir setengah jam, cukup melelahkan jika harus berdiri sepanjang jalan.

Perlahan bus berderak meninggalkan terminal, punggungku menyentuh jok yang terasa begitu empuk melebihi sofa mewah sekalipun.

Kulihat ke luar jendela, Mahmud sudah tidak ada. Berbaur dengan dunianya.

0 Komentar:

Majalah La Tansa

Komentar Terakhir

Tulisan Terakhir

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP