CUEEEEEEKKKK...!
>> Rabu, 25 Juli 2007
Cuek. Itulah fenomena global yang terjadi. Banyak orang terjangkit penyakit ini. Mereka tidak peduli pada berbagai hal yang sesungguhnya penting untuk dipikirkan. Mereka menganggap remeh hal-hal yang hanya secara zahir saja terlihat kecil, padahal tidak ada hal yang sedemikian hina sehingga tidak perlu dipikirkan.
Apa yang membuat para raja dan sultan duduk di atas singgasananya yang empuk dan menyibukkan hari-harinya dengan kesia-siaan, ragam makanan lezat yang membuat tubuhnya semakin gemuk seperti babi ternak, dan selir-selir yang tidak berharga di matanya kecuali untuk kesenangan yang tidak lebih dari setengah jam saja? Apa yang membuat mereka lupa bahwa seorang raja pun tidak akan nampak perkasa jika rakyatnya tidak memberi dukungan? Apa yang membuat para penguasa lupa pada orang-orang malang di luar sana?
Apa yang membuat seorang ayah tenggelam di balik kesibukannya, keasyikan dengan karirnya yang terus melesat, sehingga keluarga pun terlupakan? Apa yang membuatnya yakin bahwa anak-anaknya akan baik-baik saja? Apa yang membuatnya berpikir bahwa segala kewajiban telah tunai dan semua tugas telah terlaksana dengan baik?
Seseorang tidak akan pernah menjadi besar sebelum ia menghargai hal-hal kecil di sekitarnya. Sayangnya, kesadaran sering datang terlambat. Kalau saja akalnya bekerja dengan baik sejak awal, tentu ia tidak perlu begitu kehilangan. Berandai dan berandai, tapi waktu tidak pernah berputar balik.
Kualitas seorang manusia ditentukan oleh penghargaannya terhadap detil, dan penghayatannya terhadap semua aspek dalam hidupnya. Orang bijak tidak akan pernah meremehkan siapa pun dan apa pun, karena memang tidak ada hal remeh yang diciptakan oleh Dia Yang Maha Mulia. Mereka yang menutup dan membungkam telinga hanya akan merugikan dirinya sendiri dan semua orang di sekitarnya. Ketidakpedulian hanya akan membawamu pada tempat yang rendah. Begitulah hukumnya.
Sungguh lebar dan dalam jurang perbedaan antara mereka yang peduli dan yang tidak. Mereka yang cuek hanya hidup sekedar lahir-bernafas-makan-tumbuh-kawin-beranak dan mati saja. Tidak ada yang mengenangnya dan tidak ada pula yang dibawanya pergi. Sangat beda dengan mereka yang memiliki tujuan dalam setiap perbuatannya. Ada keindahan dalam setiap detilnya.
Ada orang yang tidak peduli dengan tindakannya yang sudah sedemikian jauh menyimpang dari aturan Allah SWT. Dalam pikirnya, tidak ada orang yang sesat kecuali jika gelar sesat itu telah disematkan sendiri oleh Yang Maha Adil. Ya, Iblis dan Fir’aun memang dua simbol kesesatan yang tak tertandingi, karena namanya disebut-sebut di dalam Al-Qur’an dan dicela sedemikian rupa. Abu Lahab masih di bawah kelas mereka, karena hanya sekali saja namanya disebut. Mereka yang tidak disebut namanya dengan hina di dalam Al-Qur’an bukanlah sesat namanya. Sekarang pun masih ada yang menunggu fatwa suci dari langit : ini yang benar dan itu yang sesat.
Ada yang menyangka Allah SWT akan turun tangan sendiri untuk meluruskan apa-apa yang bengkok yang dilakukan oleh tangan-tangan jahil manusia. Oleh karena itu, sebelum ‘Tangan Tuhan’ itu datang, maka bolehlah berbuat semaunya. Fatwa yang sangat canggih. Didukung oleh sebagian orang yang mengaku bergelar profesor, pula.
Ada juga yang berpendapat rokok itu halal, bahkan halal pula dihisap ketika sedang melaksanakan shaum. Alasannya hanya satu : urusan halal dan haram itu adalah prerogatif Allah SWT, bukan manusia. Kalau memang sudah tidak ada lagi kepedulian terhadap detil, lantas apa lagi yang tersisa? Bahkan di hadapan Allah pun manusia dengan beraninya mengusung ego sedemikian rupa.
Yang sebenarnya terjadi adalah kemalasan, kecongkakan dan sikap memandang remeh. Seperti Iblis yang tercipta dari api dan gagal melihat keunggulan Adam as. yang dibuat dari tanah yang hitam. Dengan secepat kilat fatwa sesat disahkan di dalam benaknya, tanpa minta waktu sedikit pun untuk sekedar mencerna permasalahan secara baik-baik. Yang terjadi berikutnya adalah serangkaian reaksi atas tuntutan keinginan pribadi yang mengalahkan akal sehat. Persis seperti raja yang dulunya naik tahta karena kebijaksanaannya, lantas dikalahkan oleh ketamakannya sendiri. Ia hanya menunggu waktu sebelum rakyat berkomplot menggulingkannya. Tanpa disadarinya, ia hanya menghancurkan dirinya sendiri.
Ketidakpedulian adalah suatu hal yang amat menyedihkan. Kita bisa menjadikan segalanya nampak indah, namun tidak cukup kemauan untuk melaksanakannya. Tidak cukup tekad tertambat di dalam hati untuk sekedar melakukan langkah-langkah kecil demi perbaikan. Kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang ‘besar’ dan melupakan yang ‘kecil’, padahal besar dan kecil hanya tergantung dari kecanggihan alat pengamatan kita saja.
Beginilah dunia yang diwarnai dengan ketidakpedulian. Semuanya dianggap remeh, seolah tak berarti. Jangankan kerabat di kota lain atau tetangga di rumah sebelah, bahkan darah daging di rumah sendiri pun bisa-bisanya tidak dipedulikan. Jangankan perbuatan orang lain, amal perbuatan diri sendiri pun tidak dipikirkan masak-masak. Segalanya dicap relatif, padahal ia hanya hendak menyembunyikan ketidakpeduliannya sendiri. Kalau sudah malas berpikir, tidak ada lagi yang tersisa dari seorang manusia selain egonya sendiri.
0 Komentar:
Posting Komentar