Sebuah Titik di Hati Nurani
>> Rabu, 09 April 2008
Oleh Nailunni'am (Pemred Cakrawala)
Suatu pagi yang cerah, dibarengi cicit burung di balik jendela Bawwabah III. Ranting pohon bergerak ditiup desir angin, memantulkan selarik cahaya mentari pagi. Dan daun-daun masih bergerak berirama pagi itu, ketika tiba-tiba seorang kawan menjawab,
“Afwan bro, besok tanggal 18 ana gak bisa ikut… lagi mo konfirmasi tempat.…”
Lalu di tempat lain, ada pula yang berkomentar,
“Wah… jawazat senin depan nih, mimpi buruk mulai lagi deh...”
Perputaran dinamika masisir di sini begitu cepat. Tak sadar, ketika kita baru saja selesai nonton Transformers, dan jam di hape udah pula nunjukkin pukul 1 malam. Sekilas berikutnya kita pun sudah terlelap tidur, untuk kemudian bangun lagi tunaikan sholat Subuh. Baca Qur’an sebentar, sambil menghapal dan satu jam pun terlewati. Kemudian membaca muqorror kuliah hingga jam di dinding berdentang 8 kali. Setelah sarapan dan mandi… kita pun siap berjalan kaki ke mahatthah, lalu berangkat ke Darrasah untuk kuliah.
Settingan tempat pun berpindah ke sebuah masjid dengan menara kembarnya. Berderet kata tersusun, terlontar begitu lepas dari mulut-mulut kita. Tak lupa diselingi canda dan tawa. Deret kata-kata itu pun lalu teralur, menjadi sebuah siyaq, obrolan tentang kuliah, organisasi, muqorror, dan mungkin pula peta belanja rumah. Hingga ketika siang jadi semakin sore, dengan sisa-sisa tenaga, kita pun kembali berkutat dengan persaingan menuju bus idaman pulang, masih dengan 80 coret. Dan kursi berdebu itupun jadi tempat kita mengadu, memejamkan mata, dan merebahkan diri sejenak, berharap akan ada sebuah tenaga baru untuk berbagai tugas yang sudah siap menjemput kita di mahattah tujuan.
Variasi meeting dan kumpul juklak yang sekarang jadi lunch kita. Pertukaran ide dan aplikasi visi dan misi tujuan organisasi pun memenuhi ruang solah, di sebuah syaqqah. Pun tak jauh dari kawasan 10th Swessery, ada syaqqah lain, saling berlempar dan bertukar ilmu dalam sebuah kajian dan kelompok studi. Satu orang berbicara, dan kemudian disanggah ataupun diberi masukan dan tambahan akan sebuah pokok masalah. Malam pun kemudian ditutup dengan sejenak bermain Monopoly, Zombie Shooter atau Feeding Frenzy 2. Dan tanpa terasa tubuh kita jadi terasa berat di atas firosy dan bergumul dengan selimut. Satu hari yang indah kemudian berlalu.
Tapi, tunggu…. Sebelum ia benar-benar berlalu dan jadi pagi yang baru, yuk kita intip kembali sesaat sebelum mata kita benar-benar terpejam 5 menit yang lalu.
Kita inget-inget kembali beberapa istilah berikut; sibuk latihan basket dan bola di nadi Salab atau Madrasah, kerja di organisasi siang malam, berebutan naik bus, berjuang demi kuliah, Lc (lancar chatting), friendster, dan download. Tak lupa pula, melirik dan cari calon pasangan hidup. Lalu yang ada hanya kosong dan tersiksa dalam hampa. Seolah-olah tubuh kita terseret kesana-kemari oleh padatnya aktifitas. Menyeret langkah tanpa nyawa, melewati sebuah titik jenuh….
Sederet pertanyaan:
Dinamika dan pergulatan masisir begitu kompleks. Sekian banyak data deretan jadwal kegiatan dari seorang makhluk bergelar mahasiswa. Entah siapapun dia, selalu saja ada setumpuk kegiatan di depan matanya. Namun, pernahkah terbetik dalam setiap gerak langkah kita, tentang sebuah pertanyaan sederhana; siapa dan apa diri kita? Kemana sesungguhnya tujuan dari aktifitas padat kita ini? Lalu untuk apa, semua yang telah dan sedang kita perjuangkan? Dan sebenarnya, di mana nyawa dan ruh dari padatnya kesibukan kita? Mengapa terkadang kita merasa sampai pada titik jenuh?
Mengurai benang kusut:
Sejenak mari kita tarik nafas dalam-dalam. Sekali…dua kali…sambil pejamkan mata. Lalu heningkan suasana di sekitar kita. Abaikan semua yang terjadi di sekeliling kita. Biarkan detik demi detiknya. Dan saat semuanya serasa terhenti, coba dengar sebuah suara. Satu suara yang dalam hari-hari kita semakin tak terdengar. Suara yang sekian lama ini tertutup oleh suara-suara duniawi kita. Suara yang makin tak bisa kita rasa, saat aktifitas dunia kita merenggutnya.
Pandanglah titik putih itu, dan biarkan ia berbicara… dengarkan kata-katanya, sekali ini saja.
Pernahkah kita mendengarnya? Saat jantung kita berdetak, dan menyebut ‘subhanallah’… dan saat darah kita mengalir dan bertahmid ‘alhamdulillah’… atau saat oksigen dihirup paru-paru dan bertakbir ‘Allahu Akbar’… pernahkah kita mendengarnya? Atau kita yang tak pernah ingin mendengar mereka?
Titik cahaya itu pun menyorot keluar dari bilik relung hati kita, dan bertanya, “fa ainallah?”
Ya, di manakah Allah dalam setiap ketikan kata dalam chat room? Di manakah Allah dalam deru langkah kita menggocek bola? Atau di manakah Allah saat kita berdebat tentang sebuah agenda program kerja? Lalu di mana pula kita letakkan nama indah-Nya saat beradu mata dengan makhluk ciptaan-Nya?
Sebuah bus tua 3 jim melaju pelan. Diiringi teriakan sang Astoh, “Rab’ah…Rab’ah….” Dan debu musim panas berterbangan kian tak tentu arah. Di ujung atap bus reot itupun tertulis dalam tinta merah, “La tansa dzikrallah…”
Ya, kini saatnya meletakkan kebesaran nama-Nya dalam setiap langkah kita. Awali setiap aktifitas kita dengan basmalah, dan akhiri dengan hamdalah. Niatkan semua yang kita perjuangkan, dalam organisasi, kuliah, bahkan refreshing main game, hanya karena Allah semata, bukan karena si dia, gak enak ama temen, apalagi karena berharap pujian manusia. Dan kemudian, temukan kelapangan barokah dan nyawa dalam setiap aktifitas kita, agar ia tak lagi sia-sia. Karena harapan kita hanya tertuju pada-Nya, sang Pembalas segala amal baik hamba-Nya. Insya Allah… ..!!!
0 Komentar:
Posting Komentar