Kairo - Mesir, Bawwabah III, Egypt
Buletin Cakrawala adalah media unggulan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) cabang Kairo yang berfungsi sebagai sarana berkomunikasi serta wadah untuk meningkatkan skill menulis Mahasiswa Baru (Maba). Buletin yang lahir pada tahun 2003 ini dikelola oleh Maba IKPM sendiri di bawah bimbingan para senior. Semoga pada tahun ini (2008), Cakrawala bisa memenuhi target, menjadi lebih baik, dan mampu bersaing dengan media mahasiswa Indonesia lain di Kairo. Amien...!

Tuhan atau Setan

>> Sabtu, 23 Juni 2007

Oleh: Abdul Aziz Romdhoni

Opini dunia tentang peninggalan-peninggalan purbakala di Mesir yang seluruhnya dianggap sebagai pujaan pada Fir’aun dan raja-raja menjadi wajib dan ilmu paten. Patung-patung manusia berkepala hewan atau sebaliknya dan simbol-simbol kuno yang sampai kini disebut refleksi manusia tentang dewa sepertinya satu-satunya jalan untuk menguak kebudayaan Mesir kuno yang sebenarnya.

Legenda-legenda seperti Re, Amon, Isis, Oriz, Set dan Fir’aun sangat diyakini sebagai penyebab timbulnya patung-patung serta simbol-simbol yang masih kita saksikan sampai saat ini. Boleh jadi, itu yang mengharuskan kita menengok ke arah yang sama sekaligus memperkuat kepatenan wacana Mesir lama.

Sampai pada titik tertentu, kita lupa bahwa kemewahan yang lekat dengan istana, berkaca dari masa kini, merupakan tempat yang biasanya jauh dari peribadatan kalau bukan pengingkaran padanya dengan berlebihan. Dalam tubuh mewah, kemungkinan akan adanya titik penghianatan yang terselip dan mampu membawa perubahan meski semu agaknya menjadi tabu yang jarang diungkit.

Sebuah sikap oposisi, jikalau 'selipan khianat' dalam tubuh mewah terdengar terlalu ekstrem, di setiap lembaran zaman bisa dibaca sebagai alternatif inspirasi hidup dan sisi-sisinya, termasuk seni. Revolusi-revolusi di dunia membawa suatu pengaruh dan corak baru yang selalu bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya. Sebelum Mei 1998, jurnalistik Indonesia terlihat seperti Herder, kuat, lincah, dan cepat namun terkekang tegang oleh sang majikan. Wacana yang dibangun di sana ibarat sebuah kain besar yang difungsikan sebagai penutup borok rezim di masa itu. Betapapun indah dan halusnya suatu kain, jika menyatu dengan borok, ia akan menjadi benda yang melampaui kebusukan borok itu sendiri. Untungnya para wartawan cepat bergerak, menjauhi busuk-busuk luka dan selamat.

Seusai Mei 98, jurnalistik meluas cakupannya dan jelas lebih bebas. Hal-hal tabu seperti sikap kritis terhadap pemerintah justru jadi wajib. Oposisi lebih marak meski pemerintah memanjakan opini-opini mereka. Pemerintah yang sebelumnya cenderung mengatur kini seperti Herder gemuk yang pontang-panting mengikuti sang majikan yang gesit. Wacana-wacana di media manapun terasa lebih vulgar saat mengungkapkan ide. Hierarki masyarakat tidak lagi diindahkan. Posisi di pemerintahan dianggap sebagai struktur semu sebelum kemudian dicerca jika diungkit keberadaannya.

Dus, keadaan berputar seratus delapan puluh derajat. Reformasi boleh dijadikan tolak ukur perubahan struktur masyarakat. Di bidang seni? tentu kita akan mendapati karikatur-karikatur yang menonjolkan sikap yang bertolak belakang dengan paradigma publik sebelum reformasi. Di sana kita banyak melihat gambar-gambar pejabat tinggi jadi sasaran empuk untuk bahan cemoohan.

Historikal manusia yang paralel membantu bangunan budaya dalam menciptakan cara pandang segar yang cukup unik untuk dibahas. Saat kembali menengok pada peninggalan-peninggalan purbakala Mesir, bayangan Reformasi dan terutama hasilnya seperti paradigma seni lukis menghasilkan interpretasi baru.

Eksodus yang dipimpin langsung oleh Nabi Musa as boleh kita jadikan tolak ukur yang persis dengan apa yang terjadi pada Mei 98. Rezim yang runtuh di zaman itu tentu siapapun mengetahuinya, Ramses II. Sampai disini, kita bisa menarik hasil dari eksodus dengan mempertimbangkan sejarah manusia yang, jika merujuk pada pembahasaan Al-Qur'an dengan 'ibrah. Secara implisit, Al-Qur'an menekankan kita pada paralelisme histori manusia.

Dari sana, pergeseran paradigma dalam tubuh rakyat Mesir kuno menjadi sangat mungkin. Peninggalan purbakala yang kini menjadi tontonan masyarakat dan diyakini sebagai pengagungan terhadap Ramses II atau dewa-dewa lainnya, boleh jadi tafsiran yang kurang tepat sasaran.

Patung manusia berkepala hewan yang dianggap sebagai patung dewa pujaan tidak menutup kemungkinan memiliki judul lain seperti: Sang penjilat, Koruptor, dan tangan besi. Atau jika singa berkepala manusia memiliki tema seperti: Hewanpun lebih pintar dari orang pemerintahan.

Jika kemungkinan-kemungkinan di atas kurang bisa dipercaya dan terlalu banyak celah, kita bisa menguatkannya dengan keberadaan mumi, terutama fir'aun. Bukankah Firaun diabadikan untuk contoh dunia dengan maksud dihinakan karena sebab-sebab seperti kesombongan, pengingkaran, dan kezalimannya.

Akhirnya, perubahan sosial yang lahir dengan drastis menampilkan paradigma baru, terlepas dari baik buruknya. Tidak hanya di bidang seni, tapi segalanya. Secara privat juga publik. Meskipun demikian, manusia ditakdirkan untuk selalu memilih. Menggali alternatif hidup. Wallahua'lam.

0 Komentar:

Majalah La Tansa

Komentar Terakhir

Tulisan Terakhir

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP